Rabu, 07 Desember 2011

Tradisi Mekepung di Jembrana


Sudah berapa kali Anda ke Bali? Jawabannya pasti sudah sering. Tapi, sudah pernahkah Anda mendengarMakepung? Banyak yang belum pernah dengar, pastinya. Makepung adalah sebuah kegiatan yang hampir mirip dengan Karapan Sapi di Madura, hanya saja yang dilombakan adalah kerbau.
Diselenggarakan pada hari Minggu pada bulan Juli sampai Oktober setiap tahunnya di Perancak, Negara, Bali. Kerbau jantan dimandikan, dipasangi aksesoris, dan sapi itu dikendalikan secara berpasangan oleh seorang joki untuk diadu kecepatannya dengan pasangan kerbau yang lain. Jika Anda ingin ke daerah Negara, perlu waktu tempuh sekitar 3 jam dari Kuta. Memang Makepung ini belum menjadi daya tarik wisata utama dari Bali, tetapi bisa Anda jadikan salah satu pilihan jika melancong ke sana.
Lomba balap kerbau Makepung ini diadakan diantara dua kelompok, jadi bukan perorangan pesertanya. Masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh hingga dua puluh pasangan kerbau yang akan saling berlomba. Dua pasang kerbau dari dua kelompok yang berlomba akan beradu cepat dalam lintasan adu pacu sepanjang kurang lebih 3 kilometer.
Dalam makepung, tata caranya sedikit berbeda dengan pacuan lainnya. Start tidak dilakukan dalam satu garis, melainkan berbeda jarak, misalnya 10 kilometer. Penentuan pemenangnya pun juga berbeda. Jika peserta yang start di depan mampu memperjauh jarak ketika finish, dialah yang menang. Tetapi jika peserta yang start di belakang mampu memperpendek jarak maka dialah yang menang.
Kerbau dihalau oleh sang joki dengan menggunakan pemukul yang terbuat dari rotan yang ujungnya terdapat sebuah paku tajam. Untuk memenangkan pertarungan, tak jarang pantat kerbau sampai terluka banyak karena pukulan paku dari sang joki tersebut. Hampir setiap dua minggu sekali diadakan Makepung. Kabupaten Jembrana, tempat diadakannya balapan kerbau Makepung ini disebut sebagai Bumi Makepung.
Asal usul Makepung
Petani di daerah Jembrana terbisa memacu pedati yang ditarik dengan kerbaunya menuju sawah untuk mengambil hasil panen padinya. Saat saat gembira memacu pedati yang ringan karena masih kosong itulah yang menjadi cikal bakal adanya tradisi Makepung, lomba balap kerbau di Jembrana.
Berhubung sapi adalah hewan yang disucikan oleh masyarakat Hindu Bali, maka mereka memilih menggunakan kerbau sebagai hewan pekerja dan tunggangan. Tradisi makepung ini sangat populer di Jembaran, di bagian barat Pulau Bali, namun tidak terkenal di daerah lainnya di Pulau Dewata ini.
Prosesi Makepung
Sehari sebelum diadakannya Makepung, para peserta dari berbagai daerah di desa-desa yang tersebar di jembara, datang menuju alun-alun dengan menuntun kerbau atau menggunakan mobil truk untuk mengangkutnya. Kerbau terbaik telah disiapkan, dengan diberi makanan dan minuman terbaik yang berfungsi meningkatkan stamina kerbau. Di arena balap, suasana sangat ramai dengan straksi musik jegong, gamelan khas Bali, dan orang-orang yang berjualan.
Pagi harinya, kerbau didandani dengan aksesoris yang berwarna warni, dan pemilik kerbau memasang sesajen (banten) di tempat-tempat tertentu seperti di garis start, finish dan beberapa tikungan yang nantinya akan dilewati. Siang harinya, dimulailah lomba yang biasanya diikuti hampir 300an pasang kerbau peserta.

Selasa, 15 November 2011

Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.



Pengertian Nyepi


Ogoh-ogoh yang sedang diparadekan di daerah Ngrupuk dalam upacara Bhuta Yajna.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaanTahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia / microcosmos) dan Buwana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.

Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan

Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari masing-masing keluarga,banjar,desa,kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru(semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), danTawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Balipengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Puncak acara Nyepi

Keesokan harinya, yaitu pada Purnama Kedasa (bulan purnama ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dariamati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.

Ngembak Geni (Ngembak Api)

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari kedua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia diseluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nyepi

Senin, 14 November 2011

Omed-Omedan, Tradisi Cium-Ciuman Di Bali

Omed-omedan, Tradisi Cium-Ciuman di Bali
Omed-Omedan atau bahasa indonesia nya adalah cium-ciuman(tarik-menarik), sebuah tradisi di Pulau Dewata, Bali. waah... asik dunk bisa cium-ciuman. 

Upss.. kok ketawa? jangan berfikiran yang tidak-tidak yah.. tentang omed-omedan, dari arti bahasa Indonesia nya memang banyak yang penasaran sekaligus membayangkannya. Jadi seperti ini ceritanya, Omed-omedan atau juga disebut Med-medan adalah acara ciuman massal yang rutin digelar oleh warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan, pada setiap setiap tanggal 1 tahun Caka, atau sehari setelah Hari Nyepi. Menurut cerita masyarakat setempat, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an.

Omed-omedan melibatkan sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Dalam bahasa Bali, Med-medan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik menarik. Jadi med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa.

Omed-omedan, Tradisi Cium-Ciuman di Bali
Ini Foto sepasang muda mudi yang sedang omde-omedan, sebelum tepat sasaran itu ciuman langsung di siram, hehehe, tapi kalau yang ada tepat sasaran biasanya malah betah berlama-lama dan tidak mau melepaskan ciuman, 

Prosesi med-medan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk mohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi menjadi dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Bnegitu bertemu, peserta terdepan saling tarik menarik lalu berciuman disaksikan ribuan penonton. Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian sehingga semua peserta kebagian berciuman.

Foto Cewek Gadis Bali Omed Omedan
Foto Cewek/Gadis Bali di tradisi Omed-Omedan Bali

Tidak semua masyarakat Bali, bahkan masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Pernah pada 1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran Pura terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, dan keduanya menghilang begitu saja di tengah perjelahian. Oleh warga, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, med-medan pun kembali dilangsungkan.

Jauh sebelum itu, ada kisah menarik mengenai med-medan. Saat itu, begitu Hari Nyepi usai, masyarakat Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar permainan med-medan alias saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dan pemudi. Saking serunya, acara tarik-menarik itu berubah menjadi acara saling merangkul dan situasi berubah gaduh karenanya. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar.Dengan terhuyung-huyung beliau keluar hendak menghardik warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak sirna dan ia pun sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar med-medan dilaksanakan tiap tahun saat ngembak geni (menyalakan api pertama) setelah Hari Nyepi.

Foto Orang Tua Omed Omedan
Kalau yang ini adalah Foto orang tua yang juga ikutan acara Omed-Omedan, Lucu ga? Hehehe..

Begitu diselenggarakan lagi, giliran Pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang ritual itu, namun warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara ciuman massal itu pun berlangsung hingga sekarang.

Tapi jangan berfikir semudah itu untuk bisa mendaratkan ciuman kamu pada sang gadis, karena dalam acara itu selain tarik menarik juga ada acara siram-siraman, sekali kesempatan dan gagal, maka kamu akan di siram beramai-ramai. 

Mekotek, Tradisi Unik di Hari Raya Kuningan

Selain pemandangan alamnya yang sangat mempesona,terbukti dikenal sampai ke seantero dunia,Bali masih menyimpan kekayaan tradisi dan budaya dari nenek moyang kita yang masih lestari sampai sekarang.Salah satunya seperti Gerebek Mekotek atau sering disebut Mekotek di Desa Munggu, Kabupaten Badung yang masih tetap lestari sampai sekarang yang dirayakan khusus di hari raya kuningan.(namanya lucu ya…!!??). Prosesi gerebek mekotek ini diikuti oleh 12 banjar setempat di desa Munggu.
Gerebek Mekotek adalah ritual yang memakai sarana kayu biasanya yang paling banyak dipakai dari jenis pulet yang dimainkan secara bersama-sama untuk merayakan kemenangan dharma(kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Ritual mekotek biasanya dilaksanakan di halaman Pura Desa oleh remaja pria atau para bapak-bapak,Masyarakat yang didominasi oleh pria tua dan muda mengenakan pakaian adat ringan semua membawa sebilah tongkat kayu berukuran kurang lebih tiga sampai empat meter beriringan berjalan menuju pura desa.Mendekati areal pura desa mereka saling menyatukan tongkat yang mereka genggam dengan cara memukul-mukulkan tongkatnya hingga menyerupai bangunan segi tiga yang menjulang ke langit.Penyatuan ini menimbulkan suara yang sangat gaduh yang membuat para peserta semakin bersemangat. Kemudian sambil beramai-ramai tongkat yang sudah menyatu itupun mereka bawa berputar-putar hingga akhirnya kembali berpisah.Tak jarang saat tongkat berpencar,beberapa warga terkena tongkat tersebut. tapi tidak lantas membuat mereka kesal ataupun marah, malahan mereka bangkit kembali dengan perasaan dan senyum puas.
Para peserta yang kena pukulan tongkat harus merelakan dirinya untuk naik ke kumpulan tongkat dari para peserta yang lain.Karena ritual ini sudah sering dilaksanakan dan sudah terbiasa maka meskipun terkena pukulan tongkat ataupun terjatuh dari ujung kumpulan tongkat peserta yang ikut tidak boleh ada yang marah.
ritual yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun 1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit. Konon katanya, saking gembiranya warga terbebas dari penyakit, saat itu mereka mengacung-acungkan tombak yang mereka miliki.Tombak di mata penjajah Belanda waktu itu disimbolkan sebagai perlawanan.Namun seiring perkembangan jaman dan waktu sarana tombak itu sekarang diganti dengan sebilah kayu.(mungkin karena tombak susah dicari kali ya..?)
peringatan Ritual Mekotek harus dilaksanakan bertepatan dengan hari raya kuningan, karena itu merupakan pawisik yang didapat oleh Raja Mengwi Cokorda Made Munggu,dan katanya ada pantangan, kalo ritual ini tidak dilaksanakan tidak menutup kemungkinan Munggu akan terkena gerubug lagi,sehingga ritual itu masih tetap dilaksanakan hingga sekarang. (ihh ngeri ya…kalo ga di lestarikan). Makanya,mari kita lestarikan warisan budaya dan tradisi kuno nenek moyang kita.Melestarikan warisan nenek moyang bukan berarti menjual kan…!!!!

sumber: http://baliage.wordpress.com/2008/09/06/tradisi-mekotek-di-desa-munggu/

Kamis, 10 November 2011

Agama, Adat, dan Budaya Bali

Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun.